(Dok Pribadi - Ilustrasi)
Sistem pemerintahan Indonesia Pasca Keputusan MK
(Mahkamah Konstitusi) tentu saja tidak akan berubah, tetap Republik Demokratis.
Yang berubah adalah peta perpolitikan di Indonesia. Karena keputusan Mahkamah
Konstitusi yang tetap memenangkan Jokowi Ma’ruf Amin dan menolak semua gugatan
Paslon Prabowo Sandi sebagai lanjutan dari Pilpres 2019 di Indonesia, adalah
juga bagian dari konsekwensi sistem Pemerintahan Indonesia yang dipilih
masyarakat Indonesia sendiri. Karena itu, demi system pemerintahan yang sudah
disepakati dipilih oleh pendiri bangsa, maka apapun keputusan MK (Mahkamah Konstitusi),
harus dihormati semua pihak. Meskipun realitasnya, keputusan itu tentu saja
tidak akan bisa memuaskan semua pihak yang bersengketa dalam perhelatan Pilpres
Indonesia di 2019 ini. Karena itu, yang terpenting adalah pasca keputusan MK
ini, kedua pihak harusnya melakukan langkah langkah seperti apa. Apakah kedua
calon dan pendukungnya melakukan rekonsiliasi aktif “membagi posisi dan jabatan”
bersama sama dari kedua pasangan calon dan pendukungnya pada pilpres kemarin. Atau
rekonsiliasi pasif yaitu tetap pada posisi masing masing seperti saat ini. Sehingga
calon dan partai pendukung yang tidak terpilih, tetap sebagai oposisi(meski
dari dulu banyak yang menyatakan bahwa di negeri ini tidak dikenal yang namanya
partai oposisi). Tapi realitasnya menunjukan ada sikap sikap yang identic sebagai
oposan dalam perpolitikan di negeri ini. Nah… memilih jalan rekonsiliasi aktif
atau rekonsiliasi pasif, tentu saja tergantung dari masing masing partai
politik. Karena itu adalah haknya partai politik masing masing.
Meski demikian, banyak yang menginginkan supaya Paslon 02
dan partai pendukungnya sebaiknya mengambil posisi rekonsiliasi pasif. Artinya
tetap saja pada posisi saat ini. Apakah mungkin rekonsiliasi pasif dilakukan
oleh paslon 02 dan pendukungnnya?. Jawabnya sangat mungkin. Dalam Rekonsiliasi
pasif, menuntut bertemunya/silaturahmi elite kedua pihak sebagai symbol bahwa
keduanya tidak ada rasa dendam dan keduanya adalah sebagai anak bangsa yang
siap membuat dan membangun negeri ini lebih maju (hanya ini saja point
pertemuannya). Tidak ada yang lain, sekali lagi tidak ada yang lain, apalagi
sampai bagi bagi kekuasaan dan jabatan. Pertemuan ini sangat penting untuk
menunjukan dan menyejukan suasana pasca pilpres yang suhu dan tekanan
politiknya sangat tinggi. Sesudah pertemuan ini dihelat, maka kedua pihak harus
komitment kembali ke posisi masing masing. Yang jadi terpilih untuk memerintah
dan melaksanakan pembangunan bangsa, ya harus komit dan konsisten bener bener
membangun dan memajukan bangsa. Bukan merugikan bangsa ini di masa yang akan datang,
karena itu, diperlukan keseriusan mereka untuk mensejahterakan masyarakat. Jangan
main main kekuasaan atau aji mumpung. Mentang mentang berkuasa, kemudian
memainkan kekuasaanya semaunya untuk kepentingan pribadi dan golongan. Karena
bagaimanapun juga, kekuasaan itu cenderung korup. Korup di bidang kekuasaanya
itu sendiri ataupun korup di sisi financial dan regulasi atau kebijakan. Karena
beberapa kali mereka yang masuk atau menjadi elite dalam system pemerintahan
Indonesia tidak tahan godaan ini sehingga korup. Nah harapan kita, dalam system
pemerintahan Indonesia pasca keputusan MK kali menjadi lebih baik untuk masa
depan bangsa Indonesia. Karena bagaimanapun juga, pilpres yang begitu panjang
rangkaianya ini dan menghabiskan dana 25 triliun pada dasarnya adalah mencari
pemimpin bangsa yang terbaik untuk membawa Indonesia lebih maju lagi dan
dihargai bangsa bangsa yang lain di dunia. Jadi regulasi yang diambil, tentu
saja harus mengacu pada kepentingan masyarakat dan bangsa Indonesia bukan
bangsa lain. Mengacu pada ekonomi kerakyatan bukan ekonomi ke rakyat bangsa
lain.
Lantas bagaimana dengan
posisi paslon yang lain yang tidak memerintah?. Kalau sudah diputuskan untuk
rekonsiliasi pasif, maka semua pendukung paslon dan paslonya juga harus
konsisten dan komit untuk membangun bangsa ini lebih baik dan maju. Apakah bisa
ikut membangun tanpa aktif dalam kebijakan dan pelaksanaan??? Tentu saja sangat
bisa. Dengan tidak menerima bagi bagi kekuasaan dan jabatan, justru akan mantab
dalam ikut melakukan pembangunan bangsa. Ikut membangun, tentu saja tidak harus
ikut dalam pelaksanaan secara tekhnis pembangunan. Sebagai analogi dalam sebuah
project, ada kontraktor pelaksana yang bertugas melaksanakan pembangunan
project secara tekhnis di lapangan. Tapi jangan lupa, ada juga kontraktor
konsultan, yang bertugas sebagai konsultan pembangunan projet tersebut. Yang
namanya konsultan tentu saja akan memberikan pertimbangan pertimbangan yang
terbaik dalam sebuah konsep dan perencanaan pembangunan. Maka seperti inilah
posisi oposisi di Indonesia. Apakah paslon 02 dan pendukungnya bisa dan punya
potensi untuk “rekonsiliasi pasif?”. Tentu saja sangat bisa. Prabowo dan Sandi
sangat tinggi nilainya di masyarakat dan bagi bangsa ini. Sehingga terlalu
kecil jabatan jabatan yang akan dibagikan untuk mereka dan partai pendukungnya.
Pendek kata, nilai prabowo Sandi sangat
tinggi, sehingga jabatan jabatan itu tentulah tidak sepadan atau setara dengan
nilai mereka berdua dan pendukungnya. Selain itu, pendukung pendukung prabowo
sandi juga sangat menginginkan mereka berdua tidak masuk dalam rekonsiliasi
aktif/bagi jabatan. Para pendukung sangat ingin, mereka berdua berada di luar system
pemerintahan Indonesia sehingga bisa mengontrol jika ada elite atau regulasi di
system pemerintahan Indonesia yang melakukan penyelewengan atau pelanggaran. Tentu
saja jika ini yang dipilih oleh paslon 02 dan pendukungnya, maka mereka dan
pendukungnya akan menjadi oposan yang bermartabat dalam Sistem Pemerintahan
Indonesia Pasca Keputusan MK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar