Breaking

Jumat, 28 Juni 2019

Minat baca Indonesia Tinggi setengah warga Indonesia hoby baca


(Dok Pribadi - Buku Literature)
Minat baca Indonesia tinggi setengah warga Indonesia hoby baca. Ini adalah realitas yang terjadi di Masyarakat kita. Bahkan karena hobynya baca, bangun tidur langsung baca. Tapi yang di baca adalah medsos hehehe (WA, Facebook, Instagram dll). Bagaimana tidak saya sebut “Minat baca Indonesia Tinggi???”, karena setengah dari warga negara Indonesia menggunakan medsos (WA, Facebook, Tweeter, Instagram dll) dalam aktivitas sehari hari. Kalau setengah dari warga negara Indonesia, tentu angka atau jumlah yang signifikan. Karena jumlah warga negara Indonesia Saat ini sudah sekitar 267 juta jiwa. Kalau setengahnya menggunakan medsos dalam kehidupan sehari hari, maka tiap hari ada 133 juta orang di Indonesia yang membaca dan/atau menulis di medsos. Lantas apakah sesuatu yang jelek kalau membaca dan menulis di medsos?. Sebelum kita melihat jawaban atas pertanyaan di atas, maka kita akan lihat data yang lain tentang “baca/membaca” juga. Menurut hasil penelitian PISA(Program for International Student Assesment), minat baca masyarakat Indonesia berada pada peringkat 60 dari 61 Negara yang diteliti. Tentu saja yang diteliti ini bukan minat baca masyarakat terhadap Media Sosial atau medsos, tapi minat baca masyarakat pada buku atau literasi/literature. Lantas apa bedanya baca Medsos dan baca buku atau literature, khan sama sama baca informasi??? Ya tentu saja ada bedanya. Sekarang mari kita lihat beberapa perbedaan antara informasi yang kita baca atau kita dapatkan dari Media Sosial dan informasi atau data yang kita peroleh dari membaca buku, literature.

Pertama dari sumber berita, informasi dan data yang disampaikan. Buku atau Literature menyampaikan informasi atau data yang sudah teruji validitasnya. Minimal setiap informasi atau data yang disampaikan dikutip, diambil dari sumber yang bisa dipertanggungjawabkan kebenaranya. Mengapa bisa dipertanggungjawabkan kebenaranya???? Sebab sebuah buku diterbitkan oleh perusahaan penerbitan yang mempunyai banyak divisi yang berfungsi menyeleksi dan memproses sebuah tulisan. Divisi divisi ini akan meneliiti, apakah content sebuah buku mengandung kebenaran atau kebohongan. Jadi, kalau isi dari sebuah buku yang akan diterbitkan ternyata hanya sebuah isu dan hoaks, pasti tidak akan diterbitkan. Beda dengan media sosial, tidak ada proses yang meneliti apakah informasi atau data yang disampaikan itu mengandung sesuatu yang benar atau tidak. Jadi, apapun isinya sebuah kebenaran atau sebuah kebohongan tetap bisa diterbitkan di media sosial. Sehingga yang terjadi, meski sebuah kebohongan tapi kalau dibungkus dalam sebuah cerita yang meyakinkan untuk mempengaruhi khalayak ramai dan ditulis di media sosial, maka banyak sekali yang membacanya. Itu kenapa minat baca Indonesia tinggi setengah warga Indonesia hoby baca medsos. Kedua, perbedaan subyek atau orang yang menuliskan informasi dan data. Penulis sebuah buku adalah orang orang yang memang punya kapasitas dan kredibelitas di bidangnya masing masing. Artinya penulis sangatlah mengetahui dan mengerti apa yang ditulisnya dalam sebuah buku. Contoh, buku tentang public speaking tentunya ditulis oleh seseorang yang berkecimpung di dunia public speaking. Entah sebagai pengajar, pengamat atau praktisi. Inipun masih diseleksi oleh penerbit. Sedangkan penulis di media sosial campur aduk. Siapapun boleh menulis di media sosial. Tidak perduli apakah dia tahu dan mengerti tentang yang ditulisnya atau tidak. Yang penting punya paketan data, maka dia sudah bisa jadi penulis di media sosial hehehe.

Ketiga, daftar pustaka. Dalam sebuah buku atau literature ada beberapa isi atau content. Ada yang terkait dengan ide dan gagasan baru si penulis yang ingin disampaikan ke public atau masyarakat luas. Nah ide dan gagasan itu, didasari, dilandasi oleh literature literature dari buku buku yang sudah terbit duluan. Jadi idenya tidak ngawur sembarangan, tapi ada landasan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Sedangkan di media Sosial, tidak perlu daftar pustaka. Orang kalau ingin menulis di media sosial ya tinggal menulis saja. Tanpa daftar pustakapun setiap orang bisa menerbitkan tulisannya di media sosial hehehe. Tapi kalau sebuah buku tanpa daftar pustaka, yang tidak akan diterbitkan oleh sebuah penerbit. Kecuali buku itu memang dari awal adalah buku jenis atau kategori fiksi. Nah dari perbedan – perbedaan ini maka idealnya memang seimbang antara baca dan menulis literature dan Media sosial. Karena bagaimanapun, media sosial juga punya kekuatan yang signifikan untuk mempengaruhi jalanya kondisi sosial masyarakat. Lihat saja beberapa waktu yang lain, sampai sampai pemerintah melalui kementrian (Kemeninfo) menurunkan kecepatan proses atau loading media sosial untuk mengendalikan dan menurunkan tensi politik di masyarakat imbas dari pemilu serentak. Memang idealnya literature atau buku tetap ditulis dan diterbitkan sesuai kapasitasnya, dan sosialisasi atau internalisasi sebuah buku bisa dilakukan melalui jaringan di media sosial. Dan bagi masyarakat idealnya juga pandai pandai membagi waktu, kapan saatnya membaca literasi dan kapan saatnya membaca media sosial. Sehingga membaca itu memang semuanya, ya buku/literasi dan juga  media sosial. Jadi sangat sangat ideal jika, minat baca masyarakat Indonesia tinggi setengah warga Indonesia hoby baca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar