(Dok Pribadi - Buku Literature)
Minat baca Indonesia tinggi setengah warga Indonesia
hoby baca. Ini adalah realitas yang terjadi di Masyarakat kita. Bahkan karena
hobynya baca, bangun tidur langsung baca. Tapi yang di baca adalah medsos
hehehe (WA, Facebook, Instagram dll). Bagaimana tidak saya sebut “Minat baca
Indonesia Tinggi???”, karena setengah dari warga negara Indonesia menggunakan
medsos (WA, Facebook, Tweeter, Instagram dll) dalam aktivitas sehari hari. Kalau
setengah dari warga negara Indonesia, tentu angka atau jumlah yang signifikan.
Karena jumlah warga negara Indonesia Saat ini sudah sekitar 267 juta jiwa. Kalau
setengahnya menggunakan medsos dalam kehidupan sehari hari, maka tiap hari ada
133 juta orang di Indonesia yang membaca dan/atau menulis di medsos. Lantas
apakah sesuatu yang jelek kalau membaca dan menulis di medsos?. Sebelum kita
melihat jawaban atas pertanyaan di atas, maka kita akan lihat data yang lain
tentang “baca/membaca” juga. Menurut hasil penelitian PISA(Program for
International Student Assesment), minat baca masyarakat Indonesia berada pada
peringkat 60 dari 61 Negara yang diteliti. Tentu saja yang diteliti ini bukan
minat baca masyarakat terhadap Media Sosial atau medsos, tapi minat baca
masyarakat pada buku atau literasi/literature. Lantas apa bedanya baca Medsos
dan baca buku atau literature, khan sama sama baca informasi??? Ya tentu saja
ada bedanya. Sekarang mari kita lihat beberapa perbedaan antara informasi yang kita
baca atau kita dapatkan dari Media Sosial dan informasi atau data yang kita
peroleh dari membaca buku, literature.
Pertama
dari sumber berita, informasi dan data yang disampaikan. Buku atau Literature
menyampaikan informasi atau data yang sudah teruji validitasnya. Minimal setiap
informasi atau data yang disampaikan dikutip, diambil dari sumber yang bisa
dipertanggungjawabkan kebenaranya. Mengapa bisa dipertanggungjawabkan
kebenaranya???? Sebab sebuah buku diterbitkan oleh perusahaan penerbitan yang
mempunyai banyak divisi yang berfungsi menyeleksi dan memproses sebuah tulisan.
Divisi divisi ini akan meneliiti, apakah content sebuah buku mengandung
kebenaran atau kebohongan. Jadi, kalau isi dari sebuah buku yang akan
diterbitkan ternyata hanya sebuah isu dan hoaks, pasti tidak akan diterbitkan. Beda
dengan media sosial, tidak ada proses yang meneliti apakah informasi atau data
yang disampaikan itu mengandung sesuatu yang benar atau tidak. Jadi, apapun
isinya sebuah kebenaran atau sebuah kebohongan tetap bisa diterbitkan di media
sosial. Sehingga yang terjadi, meski sebuah kebohongan tapi kalau dibungkus
dalam sebuah cerita yang meyakinkan untuk mempengaruhi khalayak ramai dan
ditulis di media sosial, maka banyak sekali yang membacanya. Itu kenapa minat
baca Indonesia tinggi setengah warga Indonesia hoby baca medsos. Kedua, perbedaan subyek atau orang yang
menuliskan informasi dan data. Penulis sebuah buku adalah orang orang yang
memang punya kapasitas dan kredibelitas di bidangnya masing masing. Artinya
penulis sangatlah mengetahui dan mengerti apa yang ditulisnya dalam sebuah
buku. Contoh, buku tentang public speaking tentunya ditulis oleh seseorang yang
berkecimpung di dunia public speaking. Entah sebagai pengajar, pengamat atau
praktisi. Inipun masih diseleksi oleh penerbit. Sedangkan penulis di media
sosial campur aduk. Siapapun boleh menulis di media sosial. Tidak perduli
apakah dia tahu dan mengerti tentang yang ditulisnya atau tidak. Yang penting
punya paketan data, maka dia sudah bisa jadi penulis di media sosial hehehe.
Ketiga, daftar pustaka. Dalam sebuah buku atau literature
ada beberapa isi atau content. Ada yang terkait dengan ide dan gagasan baru si
penulis yang ingin disampaikan ke public atau masyarakat luas. Nah ide dan
gagasan itu, didasari, dilandasi oleh literature literature dari buku buku yang
sudah terbit duluan. Jadi idenya tidak ngawur sembarangan, tapi ada landasan
yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Sedangkan di media
Sosial, tidak perlu daftar pustaka. Orang kalau ingin menulis di media sosial
ya tinggal menulis saja. Tanpa daftar pustakapun setiap orang bisa menerbitkan
tulisannya di media sosial hehehe. Tapi kalau sebuah buku tanpa daftar pustaka,
yang tidak akan diterbitkan oleh sebuah penerbit. Kecuali buku itu memang dari
awal adalah buku jenis atau kategori fiksi. Nah dari perbedan – perbedaan ini
maka idealnya memang seimbang antara baca dan menulis literature dan Media
sosial. Karena bagaimanapun, media sosial juga punya kekuatan yang signifikan
untuk mempengaruhi jalanya kondisi sosial masyarakat. Lihat saja beberapa waktu
yang lain, sampai sampai pemerintah melalui kementrian (Kemeninfo) menurunkan
kecepatan proses atau loading media sosial untuk mengendalikan dan menurunkan
tensi politik di masyarakat imbas dari pemilu serentak. Memang idealnya literature
atau buku tetap ditulis dan diterbitkan sesuai kapasitasnya, dan sosialisasi
atau internalisasi sebuah buku bisa dilakukan melalui jaringan di media sosial.
Dan bagi masyarakat idealnya juga pandai pandai membagi waktu, kapan saatnya
membaca literasi dan kapan saatnya membaca media sosial. Sehingga membaca itu
memang semuanya, ya buku/literasi dan juga media sosial. Jadi sangat sangat ideal jika, minat
baca masyarakat Indonesia tinggi setengah warga Indonesia hoby baca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar