(Dok Pribadi - Sebagian kecil warga yang datang lebih awal di Acara Baritan)
Cara Bersyukur di malam selikur yang saya informasikan
di sini, adalah satu dinatara cara masyarakat kita mengingatkan diri sendiri
dan masyarakat secara luas/komunal tentang bagaimana melalui malam selikur atau
malam 21 di bulan Ramadhan sampai akhir puasa Ramadhan nanti. Jadi, cerita
peristiwanya ini terjadi di Desa Tanjungan, Kemlagi, Kabupaten Mojokerto.
Setiap tahunya, di malam selikur atau malam 21, warga desa ini yang terbilang
sangat religious memperingati dengan cara selamatan atau mereka menyebutnya “Baritan”
di Balai desa. Waktu pelaksanaanya adalah sesudah sholat Magrib. Jadi begitu
selesai sholat Magrib, kepala Keluarga yang jumlah sekitar 300 orang lebih di
desa ini akan berbondong bondong ke Balai desa dengan masing masing orang membawa
berkat(Nasi selamatan dalam Loyang/lengser/piring besar). Bahkan ada yang
membawa 2 berkat, karena dititipi sanak family yang kebetulan tidak bisa ikut
berdoa karena ada halangan. Semua masyarakat percaya, bahwa berkat (nasi
selamatan yang sudah di doakan) aka membawa berkah bagi yang memakanya. Sesampainya di di Balai maka semua orang akan
duduk bersila sambil menunggu ulama desa untuk memimpin berdoa bersama. Nah..
sebelum memulai acara ritual berdoa bersama ini, pemimpin desa memberikan
berbagai informasi. Informasi utama adalah berkaitan dengan mengingatkan
kembali masyarakat desa untuk memperkuat ibadahnya di akhir bulan Ramadhan ini,
khususnya di malam malam ganjil, dengan harapan dan doa supaya bisa mendapatkan
malam lailatul qodar. Selain itu juga menginformasikan beberapa hal yang
penting di ketahui masyarakat desa dan keluarganya. Dengan harapan, kepala
keluarga yang ikut Baritan/Selamatan ini akan menyampaikan informasi tadi ke
segenap anggota keluargannya. Kebetulan yang dibahas di acara Baritan Malam
Selikur ini adalah berkaitan dengan Aksi perampasan motor dengan cara gendam
dan penipuan dengan mengajak anak anak yang masih remaja, serta perilaku anak
anak remaja yang mamakai motor pretelan/tidak standard yang bisa membahayakan
keselamatan diri sendiri dan orang lain. Sesudah itu, ulama desa memimpin doa
dan dilanjutkan makan bersama.
Desa dan masyarakat ini sangat religious. Jadi cerita
di atas tentang prosesi Baritan atau selamatan bersama itu bukan hanya terjadi
di malam selikur atau malam 21 saja. Tapi berkali kali dilakukan sebagai upaya
mengingatkan masyarakat untuk terus menerus berbuat baik. Jadi kalau diurutkan,
maka syukuran itu dimulai pada malam 15 Sya’ban atau 15 hari menjelang puasa
Ramadhan. Tradisi malam 15 Sya’ban ini mereka sebut “Brahatan”. Ini juga
merupakan rangkaian cara bersyukur malam selikur. Masyarakat di sini juga melakukan
Baritan rangkaian ritualnya juga sama dengan di atas. Tapi berkat yang dibawa
adalah dalam bentuk Ketupat saja. Sekali lagi ketupat saja. Tentu ini sebagai
symbolis juga untuk mengingatkan masyarakat tentang kesalahan kesalahan yang
berbuah dosa yang sudah dibuatnya selama ini. Sehingga bisa memasuki bulan
Ramadhan dengan hati bersih. Ketupat/Kupat merupakan symbolis untuk saling
memafaafkan. Dengan saling memaafkan antar tetangga dan kerabat, maka
diharapkan nanti waktu memasuki bulan puasa, hati benar benar bersih dari
kesalahan pada Allah dan pada sesama.
Berikutnya adalah megengan. Ini hampir semua masyarakat
muslim melakukan ini, yaitu selamatan satu hari atau 2 hari menjelang puasa
Ramadhan. Selain makanan nasi untuk selamatan/berkat, juga ada kue khas yaitu
apem. Ini juga symbolis. Apem merupakan Bahasa yang diadaptasikan dari Bahasa Arab
yaitu Afuan atau affuwwun yang berarti ampunan. Linear dengan malam 15 Sya’ban
sebagai proses membersihkan hati dengan cara minta ampunan, supaya besoknya
benar benar hati bersih memasuki Ramadhan. Nah ritual religious selanjutnya
adalah malam 21 atau malam selikur (cara bersukur di malam selikur).
Tidak hanya berhenti sampai disini, masih ada lagi
rangkaian ritual religious yaitu malam 29 atau malam songolikur. Masyarakat
disini melakukan selamatan besar lagi di Balai desa. Dan di malam itu juga
(pada zama dulu sebelum ada listrik masuk desa), maka sesudah magrib semua
depan rumah diberi penerangan lilin atau obor. Sehingga suasana desa menjadi
terang benderang. Symbolis terangnya hati sesudah melewati puasa Ramadhan dan
menjelang hari raya idul fitri. Kemudian dilanjutka lagi selamatan besar lagi
sesudah Subuh menjelang sholat Ied. Nah...rangkaian acara yang paling ujung
adalah hari raya ketupat yang dilaksanakan satu minggu sesudah hari raya Idul
Fitri. Masyarakat di sini, melakukan selamatan besar di balai Desa, tapi dengan
berkat yang berupa Ketupat dan lepet. Symbolis juga, untuk perayaan idul fitri
saling memaafkan kesalahan atau kelepatan. Jadi kue lepet ini menyimbulkan
kelepatan atau kesalahan yang harus segera saling dimaafkan antara sesame masyarakat
sekitar sebagai bagian dari membina kurukunan hidup.
Jadi kalau dirangkaikan secara jadwal, maka memanjang
selama 2 bulan penuh atau 60 hari penuh. Benar benar religious bukan…. Semoga jadi
inspirasi untuk kebersihan hati kita. Aamiin.
(Ayo Belajar Seumur Hidup,
Surbaya 27 Mei 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar