Breaking

Sabtu, 13 Juli 2019

Pertemuan Jokowi Prabowo jadi batas antara Moralis Politis dan Politisi Moralis

(Dok Pribadi - Ilustrasi)
Pertemuan Jokowi dan Prabowo jadi batas antara Moralis Politisi dan Politisi Moralis. Pertemuan Jokowi dan Prabowo pertama kali sejak perhelatan Pilpres 2019 di tengah tengah pro dan kontra diantara pendukung keduanya, akhirnya terjadi Sabtu siang 13 Juli 2019 di dalam MRT. Sejak awal memang muncul pro dan kontra diantara pendukungnya masing masing. Pendukung Prabowo dalam perhelatan Pilpres 2019 kemarin banyak yang menginginkan supaya Prabowo tidak perlu bertemu Jokowi Presiden terpilih 2019. Bahkan malam sebelumnya atau Jumat malam 12 Juli 2019, korps emak emak sempat mempersekusi Prabowo di depan Rumah Jl Kertangera. Dalam kesempatan itu, Prabowo akhirnya harus menjelaskan bahwa bagaimanapun juga dan apapun kondisinya dirinya akan tetap bersama sama rakyat dalam berjuang untuk memajukan Indonesia. Dan akhirnya pertemuan Jokowi dan Prabowo terjadi Sabtu siang di dalam MRT. Berbagai komentarpun muncul baik dari pendukung Prabowo maupun Jokowi. Dari pendukung Jokowi misalnya, Ganjar Pranowo menyebut pertemuan antara Jokowi dan Prabowo adalah suatu pertemuan yang keren, di kereta MRT suatu tempat terbuka yang semua masyarakat bisa melihatnya. Dari Gerindra Fadli Zon menyebut ini sebagai pertemuan dua orang negarawan dalam konteks pertemuan kebangsaan. Sedangkan komentar dari PA 212 menyatakan, sejak pertemuan antara Jokowi dan Prabowo maka PA 212 tidak lagi bersama Prabowo dan akan terus memperjuangkan penolakan terhadap kecurangan dalam pilpres 2019 ini. Sementara Amien Rais yang berada di barisan Capres 02 Prabowo, berharap partai koalisi pendukung capres 02 tetap berada di oposisi, karena kalua mereka bergabung juga dengan pemerintahan yang dipimpin Jokowi maka ini sebagai pertanda matinya demokrasi di Indonesia.

Terlepas dari berbagai komentar dari kedua pihak, Jokowi maupun prabowo, maka pertemuan ini memang diharapkan menjadi penyejuk suhu politik di akar rumput kedua pendukung yang memang cukup tinggi. Harapanya adalah dengan pertemuan kedua tokoh nasional ini yang ikut dalam perhelatan pilpres 2019 yang diliput berbagai media dan dilakukan di tempat terbuka, maka masyarakat di akar rumput tidak terpecah lagi, tapi bersatu untuk membangun negeri ini. Yaa ini adalah nalar atau pola pikir linear. Jadi, kalua pimpinannya sudah akrab kembali, maka diharapkan pengikutnya juga mengikuti hal yang sama. Tapi di sisi lain, masyarakat kita juga semakin pintar dan kritis. Ada sebagian yang berpikir, silahkan saja kedua tokoh ini bertemu sebagai suatu jalinan silaturahmi dan kebersamaan sebagai bangsa, tapi tentu saja tidak boleh kemudian dikuti dengan bagi bagi kekuasaan atau merapat menjadi satu bagian dengan pemerintah. Pendek kata, boleh para pucuk pimpinan bersilaturahmi dan berkomunikasi, tapi tetap harus sebagai oposisi. Paling tidak hal ini sejalan dengan pemikiran Sandiaga Uno yang dalam perhelatan Pilpres kemarin sebagai Cawapres dari Prabowo. Sandiaga menegaskan komitmentnya untuk menjadi oposisi pemerintah. Karena itu, menurut hemat penulis, maka pertemuan Jokowi Prabowo jadi batas antara Moralis Politisi dan Politisi Moralis.  Meminjam istilah yang disampaikan Imanuel Kant seorang filsof German, maka yang dimaksud dengan Moralis Politisi adalah para politikus yang merancang dan memanfaatkan strategi dan berbagai cara untuk meraih kekuasaan. Berbagai cara disini maksudnya adalah cara apapun, baik yang etis ataupun tidak etis, yag halal maupun yang haram, asalkan bisa mendapatkan kekuasaan, maka akan dilakukan. Sedangkan Politisi Moralis, adalah mereka para politisi yang dalam setiap langkahnya selalu mempertimbangan aspek kebenaran dan kepentingan rakyat.   

Jadi, bagaimana kemudian peristiwa pertemuan Jokowi Presiden dan Prabowo menjadi pembatas bagi Moralis Politikus dan Politikus Moralis. Saat ini, ada kekuasaan di bidang eksekutif yang dipercayakan oleh masyarakat melalui pilpres kemarin kepada Jokowi beserta partai pengusungnya. Jadi secara legalitas, merekalah yang mendapatkan kepercayaan masyarakat (terlepas dari berbagai polemik yang ada dan terjadi di masyarakat). Sementara Paslon 02 Prabowo dan partai pengusungnya belum mendapatkan kepercayaan dari masyarakat untuk memegang kekuasaan eksekutif. Dengan keputusan MK yang bersifat final, maka perebutan kepercayaan masyarakat di bidang eksekutif sudah final dan selesai untuk 5 tahun kedepan. Dus artinya, biarlah Jokowi dan partai pengusungnya memegang amanah masyarakat di eksekutif. Sedangkan paslon 02 Prabowo dan partai pengusungnya juga sudah memegang kekuasaan/dipercaya masyarakat di bidang legislatif yang juga didapatkan dalam Pemilu serentak kemarin. Dengan demikian, tidak perlu lagi ada rekayasa dengan label “rekonsiliasi” tapi esensi bagi bagi kekuasaan. Karena ini akan membuat fungsi control atau pengaawasan terhadap berbagai kebijakan eksekutif jadi lemah. Pastilah lemah, karena pada waktu kampanye kemarin mereka saling kritisi setiap kebijakan dari program yang ditawarkan. Seperti yang disampaikan Cawapres Paslon 02 Sandiaga Uno, menjadi Oposisi lebih terhormat. Juga meminjam istilah Amin Rais, kalua kemudian partai pengusung Paslon 02 merapat ke paslon 01 atau Jokowi maka itu sama dengan lonceng kematian demokrasi di Indonesia. Dengan demikian, sebenarnya masyarakat sudah pintar dan sangat gampang dan gamblang untuk melihat apakah para politisi di kelompok pengusung paslon 02 masuk dalam kategori “Moralis Politisi atau Politisi Moralis”. Degan demikian juga, memang benar bahwa pertemuan Jokowi Prabowo jadi batas antara Moralis Politisi dan Politisi Moralis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar